Situs Kerajaan Koto Alang
ini telah sangat lama terlupakan. Hanya beberapa Tokoh adat yang tetap
menjaganya. Walau dijaga, tetap saja tak lepas dari tangan jahil yang
suka memperjual belikan Benda Cagar Budaya (BCB) yang terdapat di lokasi
Situs Kerajaan Koto Alang ini. Pemerintah setempat nyaris tidak mengetahui keberadaannya (atau pura-pura tidak tahu). Hati terasa perih ketika Situs Kerajaan Koto Alang terabaikan begitu saja. Maka saya mencoba menelusurinya. Sobat netter mau tau cerita petualangan saya menelusuri Situs Kerajaan Koto Alang ini? Silakan lanjutkan baca cerita selengkapnya.
Penelusuran di Dusun Botuang
Saya menelusurinya bersama seorang teman
dari Koran Kampus “Bahana Mahasiswa” Universitas Riau. Dari Pekanbaru
menempuh perjalanan darat menuju Kota Taluk Kuantan ibu kota Kabupaten
Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), pada minggu ketiga dan hari ketiga di
bulan Oktober 2008, ujan rintik-rintik menemani perjalanan kami.
Tujuannya adalah Kecamatan Kuantan Mudik, disitulah terdapat Dusun
Botuang di Desa Sangau.
Untuk mencapai Dusun Botuang ini dibutuhkan waktu sekitar setengah jam dari pusat Kota Taluk Kuantan, Situs Kerajaan Koto Alang itu berada disini, dinamakan Padang Candi
karena diduga kuat disitu terdapat sebuah candi yang telah sangat lama
tebenam. Untuk sampai kelokasi Padang Candi ini kami melewati sebuah
sungai kecil bernama Sungai Salo dan dilintasi dengan jembatan gantung
yang terbuat dari kayu, bagi orang yang tidak terbiasa melewatinya akan
merasa gamang karena sewaktu dilewati ia bergoyang-goyang.

Hal ini dibenarkan oleh Rabu Jailani Kepala Dusun Botuang, “semenjak itu banyak masyarakat yang mengambil tanah disekitar bekas penggalian guci itu untuk didulang di Sungai Salo, dan menemukan emas, malahan ada yang telah berbentuk cincin, gelang, mata kail dan jarum penjahit, kejadiannya sekitar tahun tujuh puluhan,” kata Rabu Jailani. Karena suatu hal penggalian dibekas ditemukannya guci itu dihentikan atas kesepakatan tokoh-tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Selain perhiasan yang terbuat dari emas
yang paling sering ditemukan penduduk setempat adalah batu bata kuno,
berukuran sekitar satu jengkal kali dua jengkal persegi—jengkal orang
dewasa. “Kalau kita gali dengan kedalaman sekitar satu meter saja, kita
bisa menemukan batu bata kuno ini masih tersusun rapi didalam tanah,”
kata Rabu Jailani. Dari ditemukannya batu bata kuno tersebut banyak
dilakukan penelitian-penelitian dan penggalian-penggalian. Pada tahun
1955 M pernah dilakukan penggalian dan menemukan Arca sebesar botol, dan
Arca tersebut sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya.
”Dulu masyarakat setempat tidak mengenal
nilai dari arca tersebut sebagai benda cagar budaya yang tak ternilai
harganya sebagai situs suatu peradaban kuno, akhirnya masyarakat
menjualnya,” ungkap Yasir Kepala Desa Sangau. ”Sangat disayangkan,”
sesalnya. Pada penggalian terakhir yang diketahui pada tahun 2007
dilakukan oleh Badan Purbakala Batu Sangkar bekerjasama dengan Dinas
Pariwisata Propinsi Riau tanpa sepengatahuan Pemangku Adat dan
Pemerintah Daerah.
Pada penggalian sebelumnya mereka
menemukan mantra berbahasa sangskerta yang ditulis pada kepingan emas
yang saat ini tidak diketahui keberadaannya. ”Kita kecolongan waktu
itu,” terang Suhernita Kepala Seksi (Kasi) Pengkajian Sejarah dan
Nilai-nilai Tradisional, Dinas Budaya Kesenian dan Pariwisata
(Disbudsianipar) Kabupaten Kuantan Singingi (Kab. Kuansing), Suhernita
menambahkan, adanya kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan saat ini
Disbudsianipar Kab. Kuansing fokus pada pembangunan fisik, “Untuk tahun
ini kita fokus pada pembangunan fisik untuk objek parawisata Air Terjun Guruh Gemurai yang ada di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik,” terangnya.
Hal ini dibenarkan oleh Drs. Syafrinal,
M.Si kepala Disbudsianipar, yang baru menjabat sekitar enam bulan yang
lalu, “Banyaknya kelemahan yang kita alami dalam perawatan objek
pariwisata dan situs-situs bersejarah sangatlah merugikan kita.” Ungkap
Syafrinal sewaktu kami jumpai di ruang kerjanya Komplek Perkantoran
Pemerintah Daerah (Pemda) Kab. Kuansing, Kamis (23/10) lalu.
Untuk mengantisipasi kejadian serupa,
Syafrinal telah berusaha semaksimal mungkin, “Kita telah membentuk tim
pengumpul data objek pariwisata dan situs sejarah disetiap kecamatan,”
selain itu Syafrinal mengharapkan sumbangsi kita bersama, dan pihak
swasta yang mau menanamkan modalnya untuk pengembangan objek pariwisata
dan situs bersejarah yang ada di Kab. Kuansing. “Saya bangga dengan yang
dilakukan pemuda saat ini yang merawat seni, budaya dan parawisata
Kuansing melalui media internet, salah satunya sungaikuantan.com yang saya lihat serius dalam hal ini,” ungkap Syafrinal.
Kerajaan Koto Alang apakah di Dusun Botuang?
Banyaknya ditemukan Benda Cagar Budaya
(BCB) di Dusun Botuang, diduga kuat di sini berdiri kerajaan Hindu
dengan nama Kerajaan Koto Alang, walau belum ada penelitian secara
ilmiah yang mengungkapkannya. Mahmud Sulaiman (68)—Bergelar Datuk Tomo,
seorang tokoh adat Kenegerian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, adalah
keturunan Raja Kerajaan Koto Alang. Padang Candi yang terdapat di Dusun
Botuang ada dibawah pengawasannya sebagai tokoh adat.
Kalau ada orang atau peneliti yang ingin
tahu cerita detail tentang Padang Candi maka masyarakat Dusun Botuang
merekomendasikan Datuk Tomo kepada peneliti tersebut, “Kami disini tidak
tahu banyak tentang sejarah Padang Candi, yang mengetahuinya ya yang
mengawasi Padang Candi, yaitu Datuk Tomo,” terang Rabu Jailani Kepala
Dusun Botuang. Hal ini di benarkan pula oleh Yasir Kepala Desa Sangau,
“Kalau sejarah Padang Candi kami serahkan kepada tokoh adat yang
berwenang terhadap Padang Candi, dia Datuk Tomo,” kata Yasir, “Semua
perangkat desa tidak ada yang mengetahuinya secara detail,” tambah pria
tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini, sewaktu kami temui di ruang
kerjanya Kamis (23/10) lalu.
Sehingga kami penasaran dan langsung
menelusurinya, lalu tim kami berkunjung kekediaman Datuk Tomo yang
berada di Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal, dan ia menceritaka tentang
Padang Candi kepada tim BM dari petikan Tambo Kenegerian Koto Lubuk
Jambi Gajah Tunggal. Tambo tersebut telah hancur dimakan zaman, sekarang
Datuk Tomo kembali berusaha membukukannya dari hasil ingatannya, dan
dari hasil penelitian tim Penelusuran Kerajaan Kandis, di Kenegerian
Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
Tim ini di koordinatori oleh Pebri Mahmud
Al-Hamidi, beranggotakan Drs. H. Syafri Yoes, Triwan Hardi, SH.,
Agusrisal SR, Hardimansyah, Jhon Herizon Patra, Raja Bastian, SE., Drs.
H. Mukhlis MR., MSi., Ikatan Keluarga Kuantan Mudik (IKKM) Pekanbaru,
dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kuantan Mudik (HPMKM) Pekanbaru. Yang
diarahkan oleh Penghulu Pucuk Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal
(Mahmud Sulaiman Dt. Tomo dan Syamsinar Dt. Rajo Suaro) beserta seluruh
Pemangku Adat dalam Wilayah Kenagorian Koto Lubuk Jambi Gajah Tunggal.
“Setelah bahan-bahan telah terkumpul semua dan dapat dipertanggung
jawabkan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku,” ucap Datuk Tomo.
Berdasarkan Tambo tersebut kerajaan Koto
Alang adalah pengembangan dari Kerajaan Kandis, “Pada masa jayanya
Kerajaan Kandis banyak terjadi perebutan kekuasaan dari orang-orang yang
merasa mampu, mereka ingin merebut kekuasaan dan akhirnya memisahkan
diri dari Kerajaan Kandis,” kata Datuk Tomo. Maka berdirilah Kerajan
Koto Alang pada tahun ke 2 M, Rajanya bergelar Aur Kuning, ia mempunyai
Patih (Wakil Raja) dan Temenggung (Penasehat Raja).
“Berdirinya Kerajaan Koto Alang maka
terjadilah perebutan kekuasaan antar kerajaan,” Maka pada tahun 6 M
Kerajaan Kandis menyerang Kerajaan Koto Alang. Dimenangkan Kerajaan
Kandis. Raja Aur Kuning melarikan diri ke Jambi, ”Itulah asal usul nama
Sungai Salo yang berarti Raja bukak selo—buka sila, di Dusun Botuang.”
Karena tidak mau tunduk dibawah pemerintahan Kerajaan Kandis, Patih dan
Temenggung melarikan diri ke arah Barat menuju Gunung Merapi (Sumatra
Barat) dan mereka berganti nama, Patih menjadi Datuk Perpatih nan
Sebatang dan Temenggung menjadi Datuk Ketemenggungan, ”Kedua tokoh
inilah yang menjadi tokoh adat legendaris Minangkabau.” ungkap Datuk
Tomo.
Peninggalan Raja Aur Kuning saat ini masi
bisa ditemukan yaitu berupa Mustika Gajah sebesar bola pingpong, yang
ditemukan Raja Aur Kuning didalam kepala Gajah Tunggal sewaktu Raja Aur
Kuning mengalahkan Gajah Tunggal—karena mempunyai satu gading, dibunuh
dengan menggunakan Lembing Sogar Jantan. ”Tempat Raja Aur Kuning
membunuh Gajah Tunggal itu kini bernama Lopak Gajah Mati yang terdapat
disebelah selatan Pasar Lubuk Jambi, Mustika Gajah dan Gading Tunggal,
masih saya simpan, kecuali Gading Tunggal yang telah dijual salah
seorang keluarga saya, ketika saya tidak berda dikampung pada tahun
1976, sangat disayangkan,” kata Datuk berjanggut ini. Sungai yang
mengalir disamping Lopak Gajah Mati tersebut dinamakan dengan Batang
Simujur, yang berarti mujur/beruntung membunuh gajah tersebut.
Prof. Suwardi. MS, seorang sejarawan
Riau, pernah malakukan penelusuran dengan Datuk Tomo tentang Kerajaan
Kandis dan Kerajaan Koto Alang, dan terhenti karena sesuatu hal,
”Kerajaan Kandis memang ada diceritakan sekilas didalam Kitab Negara
Kertagama, Kerajaan Kandis itu berada di Rantau Kuantan, penelusuran ini
terhenti dengan kendala SDM dan dana,” terang Suwardi. Sampai tulisan
ini terbit belum ada pembenahan terhadap situs bersejarah yang terdapat
di Dusun Botuang, Desa Sangau, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing,
Propinsi Riau tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar